SELAMAT DATANG DAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA . . .

Sabtu, 10 November 2012

Pohon Pisang


Rasa-rasanya kita tahu apa itu pohon pisang? Siapa yang belum pernah melihat pohon pisang--baik lewat gambar atau secara langsung. Dulu di belakang kost-an saya jaman kuliah, adalah kebun pisang. Karena kamar saya menghadap belakang, maka kalau saya duduk di kursi, yang dilihat pohon pisang. Melamun, melihat pohon pisang. Memikirkan banyak hal, melihat pohon pisang. Jemur cucian, melihat pohon pisang. Hidup saya masa-masa itu dipenuhi oleh pohon pisang. Dulu, saya tidak sempat menyadarinya, terlalu sering melihat pohon pisang, membuat sy abai akan sebuah proses kehidupan yang menakjubkan. Apa pentingnya sih pohon pisang?

Tetapi saat menonton rekaman pohon pisang mulai dari saat ditanam, tumbuh besar, berjantung, berbuah, kemudian buahnya busuk satu per satu, lantas diikuti pohon pisangnya layu, tumbang, saya berubah pikiran.

Coba perhatikan: Pohon pisang itu hanya bermula dari sebuah tunas kecil, paling hanya sejengkal. Lantas, hari demi hari, tubuhnya semakin besar dan tinggi. Pelepah daunnya sehat menghijau, lebar-lebar, berkelepak pelan saat ditiup angin atau terkena hujan. Berbulan-bulan berlalu, saat masanya tiba, keluarlah jantung dari pohon itu. Lucu sekali bentuknya. Lapis demi lapis kulit jantung terkelupas, serangga membantu penyerbukan, maka pelan-pelan muncullah pisang dalam ukuran kecil-kecil. Hanya sebesar ujung pensil. Kemudian membesar jadi sebesar jempol. Hingga besar seperti buah pisang yang kita lihat di mana-mana.

Lihatlah. Bukankah itu menakjubkan. Hanya tunas sejengkal, bisa tumbuh jadi pohon setinggi 3 meter, pelepah daunnya banyak dan lebar. Siapa yang menumbuhkannya? Hanya tunas sejengkal, bisa berjantung lantas berbuah, yang satu tandan buahnya, lebih besar dibanding pohon pisangnya. Siapa yang membuatnya berbuah?

Dan lebih menakjubkan lagi, proses tunas pohon pisang jadi besar, menghasilkan buah itu membutuhkan apa? Tidak ada tanah yang hancur, tidak ada sekitar yang rusak, tidak ada material, bahan-bahan seperti manusia membangun rumah misalnya. Kiri-kanan-depan-belakang pohon pisang itu tidak berubah, tdk ada yang dirugikan. Malah saat buahnya matang, berbagai burung dan hewan berpesta pora. Saat pohonnya layu, tumbang, tanah menyambutnya sukacita, menjadi sumber pupuk alami.

Itulah salah-satu kasih sayang Tuhan dalam bentuk yang paling terlihat. Hanya tunas sejengkal, bisa tumbuh besar, bisa berbuah. Manusia, meskipun mereka bisa menciptakan roket, robot, senjata nuklir, dan sebagainya, tidak akan pernah mampu menumbuhkan sebatang 'pohon toge' sekalipun. Manusia bisa menciptakan cabe sintetis, telur sintetis, kapas sintetik, tapi tidak akan pernah bisa menumbuhkan kehidupan.

Maka perhatikanlah di depan rumah kalian. Ada pohon mangga? Kecil dulu asalnya, bisa tumbuh besar dan berbuah. Ada pohon belimbing? Kecil sekali bibitnya, bisa tumbuh besar dan berbuah. Ada pohon kelapa? Hanya sebuti kelapa tua asalnya, bisa tumbuh besar dan menghasilkan ribuan kelapa lain. Siapa yang membesarkannya? Siapa yang membuatnya berbuah? Kasih sayang Tuhan melalui mekanisme alam yang amat menakjubkan.

Begitulah.

-- Tere Liye --
»»  BACA SELENGKAPNYA...

"Kematian" dan "Kehidupan"


Pada suatu hari "Kematian" dan "Kehidupan" bertemu satu sama lain, lantas mereka ngobrol:

Kematian : "Kenapa orang2 itu menyukai kamu, tapi mereka amat membenci aku?"
Kehidupan (menjawab sambil tersenyum) : "Orang-orang menyukaiku karena aku adalah 'dusta yang indah', sedangkan mereka membencimu karena kamu adalah 'kebenaran yang menyakitkan'."

*Saya juga suka dengan quote ini -- entah siapa yg pertama kali menuliskannya.
»»  BACA SELENGKAPNYA...

Dilarang bawa apapun ketika mati


Ada sebuah taman bermain yang indah. Penuh dengan tumpukan cokelat lezat, minuman bergizi nan nikmat, juga tentu saja mainan2 keren yang bisa digunakan, diambil semaunya. Gratis. Semua anak2 suka bermain di sini. Karena terkenalnya taman bermain ini, maka tidak semua anak boleh masuk sekaligus, harus diantri satu rombongan demi satu rombongan. Panjang mengular antriannya.

Peraturan taman ini simpel, silahkan makan dan minum sepuasnya, silahkan bermain sepuasnya, gunakan apa saja yg ada di taman. Tapi saat jam bermain habis, yaitu tiga jam, maka anak2 harus keluar dari taman. Meninggalkan apapun, tidak ada yang boleh dibawa pulang. Simpel sekali bukan?

Nah, katakanlah pada rombongan hari itu, ada anak, bernama Agus, masuk bersama belasan anak lainnya. Senang bukan kepalang Agus bisa masuk taman. Dia sudah mengantri berhari-hari. Maka, saat pintu taman dibuka, dia puas2in minum, makan, dia puas2in bermain, bahkan dia mengumpulkan semua jenis makanan, semua jenis minuman, dia tumpuk bersama mainan yg dia inginkan, hingga lupa bermain dan bercengkerama dengan anak2 lain. Tiga jam berlalu, sudah banyak sekali benda yg dikumpulkan Agus, tertawa senanglah dia, tidak peduli kalau dia adalah anak satu2nya yang tidak mengenal anak lain, saling bermain. Teng tong! Waktu bermain habis. Agus dan teman-temannya harus keluar. Apa yang terjadi? Agus menangis kencang, petugas melarangnya membawa keluar apa yang telah dia kumpulkan. Agus merengek, marah2, protes, tapi peraturan adalah peraturan. Duhai, sia-sia sudah apa yg telah dia lakukan, tidak ada satupun makanan dan minuman lezat yg bisa dia bawa, juga tidak mainan2 yg keren.

Begitulah dunia ini. Sama persis.

Apakah kita adalah Agus, anak kecil yang terlalu sibuk mengumpulkan harta benda? Hingga lupa esensi kehidupan? Apakah kita seperti Agus, yang tidak puas-puasnya menumpuk keinginan? Hingga lupa sebuah peraturan kecil: "dilarang bawa apapun ketika mati".

Pikirkan dan renungkan sambil tersenyum lega.

== Darwis Tere Liye ==
»»  BACA SELENGKAPNYA...